December 2, 2025
6 views
Degriya Partner

Sumatera di Ambang Kehancuran: Menguak Akar Krisis Ekologis dan Tawaran Solusi Islam yang Fundamental

Apakah banjir dan longsor yang menenggelamkan Sumatera hanyalah “amukan alam” biasa? Data menunjukkan fakta sebaliknya. Simak analisis mendalam mengenai kegagalan tata kelola sekuler dan bagaimana Islam menawarkan cetak biru penyelamatan lingkungan yang radikal.

Pulau Sumatera, yang dulu dikenal sebagai Suwarnadwipa (Pulau Emas), kini lebih akrab dengan berita duka. Rentetan bencana hidrometeorologi sepanjang 2023 hingga 2025 telah mengubah wajah pulau ini. Banjir bandang (galodo), tanah longsor, hingga banjir genangan bukan lagi kejadian tahunan, melainkan ancaman harian.

Ketika ratusan nyawa melayang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025, pertanyaan besarnya bukan lagi “kapan hujan berhenti?”, melainkan “mengapa tanah ini tidak lagi mampu menahan air?”. Artikel ini akan membedah akar masalah sistemik di balik bencana ini dan menawarkan perspektif solusi Islam yang sering kali luput dari pembahasan arus utama.

Fakta Mengerikan: Bukan Sekadar Cuaca Ekstrem

Seringkali, narasi “cuaca ekstrem” dijadikan kambing hitam tunggal oleh pemangku kebijakan. Namun, data lapangan berbicara lain. Bencana di Sumatera adalah bencana ekologis buatan manusia (man-made disaster).

1. Angka Korban dan Kerusakan yang Fantastis

Peristiwa banjir dan longsor serentak di Aceh dan Sumatera Utara pada akhir November 2025 mencatatkan sejarah kelam. Sebanyak 442 orang meninggal dunia, ratusan hilang, dan lebih dari 150 ribu warga terpaksa mengungsi.[1] Di Sumatera Barat, banjir lahar dingin dan longsor telah merusak infrastruktur vital dan mengisolasi daerah sejak akhir 2023.[2]

2. Deforestasi Brutal yang “Dilegalkan”

Bencana ini adalah harga mahal yang harus dibayar akibat hilangnya benteng alami kita: hutan. Citra satelit merekam bahwa dalam satu dekade terakhir (2016-2025), Sumatera Utara, Aceh, dan Sumbar kehilangan 1,4 juta hektar hutan.[1, 3]

  • Sumatera Utara: Ekosistem Batang Toru, habitat langka Orangutan Tapanuli, kehilangan puluhan ribu hektar akibat operasi 18 perusahaan.[1]
  • Aceh: Dari 954 Daerah Aliran Sungai (DAS), 20 di antaranya dalam kondisi kritis. DAS Singkil bahkan kehilangan 66% tutupan hutannya.[1]

Para pakar dari UGM dan WALHI sepakat: Hujan hanyalah pemicu (trigger), tetapi penyebab utamanya adalah deforestasi untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan infrastruktur energi yang mengabaikan daya dukung lingkungan.[4, 5]

Akar Masalah: Kegagalan Sistem Kapitalisme-Sekuler

Mengapa kerusakan hutan ini terus terjadi meski regulasi lingkungan menumpuk? Jawabannya terletak pada ideologi yang dianut negara. Sistem Kapitalisme-Sekuler memandang alam semata-mata sebagai komoditas ekonomi (economic goods).

  1. Liberalisasi Sumber Daya Alam: Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, negara mengobral izin konsesi (HGU, IUP) kepada korporasi swasta di kawasan hulu yang seharusnya menjadi area tangkapan air.
  2. Mafia Hutan dan Pencucian Kayu: Investigasi menemukan ribuan kayu gelondongan yang hanyut saat banjir, indikasi kuat pembalakan liar. Modus “pencucian kayu”—menggunakan dokumen izin legal untuk kayu ilegal—marak terjadi, merugikan negara ratusan miliar rupiah.[4]
  3. Paradigma Profit di Atas Rakyat: Dalam sistem ini, fungsi sosial dan ekologis hutan dikalahkan oleh hitungan untung-rugi korporasi. Negara sering kali abai, bertindak hanya sebagai “pemadam kebakaran” saat bencana sudah terjadi, bukan mencegahnya sejak awal.

Solusi Islam: Revolusi Tata Kelola Lingkungan

Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sebuah sistem kehidupan (Mabda) yang memiliki aturan rinci tentang pengelolaan negara dan lingkungan. Berikut adalah tawaran solusi Islam untuk menghentikan krisis ekologis Sumatera:

1. Negara Sebagai Pelindung (Ra’in), Bukan Pedagang

Dalam Islam, paradigma kepemimpinan adalah Ri’ayah (pengurusan). Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”.[6] Negara wajib bertindak proaktif menjamin keselamatan nyawa rakyat (hifz an-nafs). Membiarkan hutan gundul demi investasi, yang berujung pada hilangnya nyawa rakyat, adalah jarimah (kejahatan) besar bagi seorang pemimpin.

2. Hutan Adalah Milik Umum (Milkiyyah Ammah)

Solusi paling fundamental dalam Islam adalah konsep kepemilikan. Nabi SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (hutan), air, dan api (energi)”.[7, 8]

  • Implikasi: Hutan, sungai, dan barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik seluruh rakyat. Haram hukumnya diprivatisasi atau diserahkan kepada swasta (asing maupun aseng).
  • Tindakan: Negara harus mengambil alih seluruh pengelolaan hutan dan tambang strategis. Tidak ada lagi HGU swasta di hutan lindung. Hutan dikembalikan fungsinya sebagai penyangga kehidupan, bukan mesin pencetak uang bagi segelintir oligarki.

3. Konsep Tata Ruang: Hima dan Ihya al-Mawat

Islam memiliki manajemen lahan yang canggih:

  • Hima (Kawasan Lindung): Kepala negara berhak menetapkan area tertentu (seperti hulu Bukit Barisan) sebagai kawasan terlarang untuk aktivitas apa pun demi kepentingan konservasi air.[9]
  • Ihya al-Mawat (Menghidupkan Lahan Mati): Rakyat didorong memiliki tanah dengan cara mengolah lahan tidur yang bukan kawasan hutan lindung. Ini mencegah penumpukan lahan (land banking) oleh tuan tanah dan memberi akses tanah pertanian bagi rakyat kecil, sehingga mereka tidak merambah hutan lindung.[10, 11]

4. Manajemen Krisis Ala Umar bin Khattab

Belajar dari sejarah, Khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi krisis “Tahun Abu” (kekeringan dan kelaparan) menunjukkan standar manajemen bencana kelas dunia:

  • Empati Total: Umar menolak makan enak sampai rakyatnya kenyang.
  • Mobilisasi Tanpa Sekat: Umar memerintahkan gubernur wilayah lain yang makmur (Mesir dan Syam) untuk mengirim logistik besar-besaran ke Madinah. Tidak ada birokrasi berbelit atau alasan “otonomi daerah” yang menghambat bantuan.[12, 13]
  • Dana Cadangan (Baitul Mal): Penanganan bencana dibiayai penuh oleh kas negara (Baitul Mal) dari pos kepemilikan umum, tanpa berutang kepada lembaga ribawi asing yang justru menjerat kedaulatan negara.[14, 15]

Kesimpulan: Saatnya Kembali ke Aturan Langit

Bencana di Sumatera adalah peringatan keras bahwa aturan buatan manusia yang sekuler telah gagal menjaga keseimbangan alam. Solusi tambal sulam seperti pembuatan tanggul atau seremonial penanaman pohon tidak akan pernah cukup selama akar masalahnya—liberalisasi alam—tidak dicabut.

Penerapan syariat Islam secara kaffah, yang menempatkan hutan sebagai milik umum dan negara sebagai pelindung rakyat, adalah satu-satunya jalan logis dan fundamental untuk menyelamatkan Sumatera dari kehancuran ekologis total.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Last updated: December 2, 2025
Create your own post